Gencarnya pemberitaan dan riuhnya jagat medsos sejak kemarin, perihal 18 orang muslimah yang menjadi anggota Pakibraka tak mengenakan kerudung saat pengukuhan oleh presiden. Beredar kabar bahwa mereka diminta melepas kerudungnya. Tentu hal ini menjadi perhatian banyak orang. Ada yang pro dan ada yang kontra. Netizen umumnya mengecam. Mereka yang pro beralasan karena itu tugas negara, peserta sudah menandatangani kesediaan sesuai aturan, bahkan ada netizen yang merasa bangga dengan beranda-andai jika anaknya menjadi anggota Paskibraka meski harus melepas kerudungnya saat tampil acara tersebut.
Saya lebih fokus pada yang membuat aturan. BPIP (Badan Pembinaan Ideoloogi Pancasila), dalam hal ini ketuanya. Dia membantah telah memaksa Paskibraka lepas kerudung dengan alasan peserta sudah teken alias tandatangani surat kesediaan. Pernyataan ini jelas menghina kecerdasan. Menandatangani surat kesediaan itu artinya pemaksaan, apalagi jelas menggunakan materai pula. Kalo memang nggak ada paksaan, ya jangan bikin surat kesediaan, dong. Aneh bin ajaib. Merayakan kemerdekaan tapi anggota Paskribaka ada yang tak bisa merdeka dari menjalankan syariat agamanya.
Kita lihat saja nanti, apakah saat pelaksanaan upacara kemerdekaan mereka tetap dilarang mengenakan kerudungnya atau akhirnya dibolehkan karena kuatnya tekanan publik. Entah apa alasannya, tetapi yang pasti rezim ini menunjukkan phobia terhadap Islam. Ini baru kerudung saja sudah diminta dilepas, apalagi jika lengkap dengan jilbabnya (baju serupa gamis yang lebar, panjang, dan tebal), sudah pasti ditolak sejak awal. Sebagaimana kenyinyiran mereka yang phobia Islam selama ini.
Sadarlah, bahwa kebanggaan dan kemuliaan dunia itu semu dan fana. Memaksakan kehendak syahwat kekuasaan pun semu dan fana. Al-Imam Ibnu Rajab al-Hanbali rahimahullah berkata,
الْعَاقِلُ يُنَافِسُ فِي الْعُلُوِّ الدَّائِمِ الْبَاقِيِّ الَّذِي فِيهِ رِضْوَانَ اللهِ، وَيُرَغِّبُ عَنِ الْعُلُوِّ الفاني الزَّائِلَ الَّذِي يُعْقِبُهُ غَضَبُ اللهِ.
“Orang yang berakal sehat akan berlomba untuk meraih kemuliaan yang kekal dan abadi yang mengandung keridhaan Allah. Dia juga membenci kemuliaan yang fana dan semu yang akan disusul dengan kemurkaan Allah.” (dalam Syarh Hadits Maa Dzi’bani, hlm. 73)
Semoga menjadi bahan muhasabah diri.
Salam,
O. Solihin