Sekadar intermezo, di kampung saya ada geng anak muda bernama Jibril. Jibril? Yup, kepanjangannya adalah Jiwa Berandal Ingat Ilahi. Gubrak! Kayak gimana ingat ilahi? Apa ketika hendak nenggak minuman keras baca doa dulu? Terus ketika sendawa bilang alhamdulillah? Walah, itu mah sama dengan mengaduk-ngaduk antara yang haq dengan yang bathil dong.
Memang antara perjuangan menegakkan syariat Islam melalui pemilu dalam sistem demokrasi nggak bisa disamain dengan geng anak muda tadi. Tapi alasan saya memasukkan contoh tadi dalam tulisan ini, adalah lebih menekankan, bahwa perbuatan kita nggak bisa cuma diukur dari jargon hebat dan islami, nggak juga dinilai dari niat baik saja. Kenapa? Karena jalan yang kita tempuh pun kudu ajeg mengikuti perintah Allah dan Rasul-Nya. Pendek kata, niat saja belum cukup, kalo caranya bertentangan dengan aturan Allah dan Rasul-Nya. Begitu…
Lho memangnya nggak boleh ya ikut pemilu dalam sistem demokrasi? Ehm, jawabannya cukup dengan kaidah syara ini: Wasilah (sarana) yang pasti menghantarkan kepada perbuatan haram adalah juga haram.
Sobat muda muslim, kayaknya kita udah ngelotok abis kalo ditanya demokrasi itu apa. Lidah kita udah fasih nyebutin bahwa demokrasi adalah pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Artinya apa? Rakyatlah yang berkuasa. Rakyatlah yang punya kedaulatan. Saking berkuasa dan berdaulat, maka rakyat (melalui wakilnya yang udah dipilih dalam Pemilu) akan memerintah suatu negara, termasuk membuat undang-undang untuk mengatur kehidupan umat manusia. Ini yang jadi masalahnya, Bro!
Why? Begini, dalam sistem politik demokrasi sekuler, wakil rakyat sebagai penetap hukum, dianggap mampu menetapkan apa yang dianggap baik dan yang dianggap buruk. Padahal belum tentu yang dinyatakan baik itu benar-benar baik dan yang dinyatakan buruk juga benar-benar buruk, karena mereka adalah manusia biasa yang pengetahuannya sangat terbatas.
Kenyataannya, banyak sekali yang disangka baik padahal buruk, sedang yang disangka buruk padahal baik. Begitu juga pemberian mandat atau kepercayaan kepada pemerintahan sekular yang tidak berhukum dengan apa yang diturunkan Allah (syariat Islam), memilih presiden, dan memberikan pengesahan terhadap berbagai kesepakatan, perundang-undangan, dan berbagai perjanjian, merupakan wasilah (sarana) yang bisa mengantarkan pada keharaman. Jadi kudu ati-ati. Jangan libatkan dirimu dalam dosa dan kemaksiatan, sobat!
Allah Swt. menyatakan: “Barang siapa tidak berhukum kepada apa yang diturunkan Allah (syariat Islam), maka mereka termasuk orang-orang kafir.” (QS al Mâ’idah [5]: 44)
Terus, wakil rakyat kan duduknya di legislatif alias lembaga pembuat undang-undang dalam sistem sekular ini, maka, keberadaan mereka di sana untuk membuat undang-undang udah jelas-jelas ‘nantangin’ Allah. Duh, jangan sampe deh!
Gimana nggak, sebab dalam pandangan Islam, manusia nggak berhak membuat hukum dan undang-undang untuk ngatur kehidupan ini, tetapi yang berhak membuat hukum perundang-undangan hanyalah Allah Swt. Allah berfirman: “Keputusan (hukum) itu hanyalah kepunyaan Allah. (QS Yûsuf [12]: 40)
Oya, kamu juga kudu paham. Bahwa seluruh keputusan yang diambil di parlemen dalam sistem demokrasi ini menggunakan voting. Lha, kalo yang udah jelas haram terus masih juga dilakukan voting, gimana urusannya?
Sebab, menurut sistem demokrasi, keputusan di parlemen senantiasa diambil berdasarkan keputusan mayoritas. Jadi, meskipun nanti di parlemen duduk wakil dari parpol Islam, dan berusaha untuk menerapkan syariat Islam, maka ini nggak bisa suka-suka tuh.
Tapi kudu mendapat restu suara mayoritas. Kalo suara mayoritas menghendaki, maka berlakulah syariat Islam, begitu juga sebaliknya. Dalam hal ini, penerapan syariat Islam hanya menjadi salah satu pilihan (option) bukan satu-satunya yang wajib dilaksanakan atas dasar keimanan, ketundukan, dan kepatuhan terhadap hukum Allah, tanpa memperhatikan hal-hal lain.
Jadi pertanyaannya, layakkah manusia melaksanakan hukum Allah, karena dianggap sebagai hukum yang diterima oleh mayoritas mereka, bukan karena dibangun berdasarkan keimanan kepadaNya, sebagai perintah dan larangan dari Allah Swt? Padahal, Allah Swt. berfirman: “Demi Tuhanmu, mereka pada hakikatnya tidak beriman hingga mereka menjadikan engkau hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan atas putusan yang engkau berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya. (QS an-Nisâ’ [4]: 65)
Sobat muda muslim, dengan demikian, kita nggak butuh demokrasi untuk menerapkan syariat Islam. Selain banyak gagal, seperti yang dialami FIS di al-Jazair, juga terlibat di dalamnya diharamkan dalam Islam. Tegas aja deh. Toh juga sekarang kaum sekular tegas juga dalam kemaksiatan. Masalahnya, kitanya yang jangan tergoda untuk ikutan senewen. Harusnya, kita tegas juga dalam kemaslahatan dan ketundukan kepada aturan Allah. Betul?
Kayaknya tepat firman Allah Swt.:”Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, jika Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang uru-san mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan RasulNya maka se-sungguhnya dia akan sesat, sesat yang nyata” (QS al-Ahzab [33] : 36)
Salam,
O. Solihin
Ingin berbincang dengan saya? Silakan via Twitter di @osolihin
*Gambar dari sini