#21 Buka Topengmu!

#webseriesramadhan | Serial Marbot Madani | By: O. Solihin 

“Mohon maaf untuk seluruh anggota grup alumni SMP Gaharu. Saya tidak mau melayani pengirim WhatsApp dari siapa pun yang tujuannya hanya iseng, apalagi mengganggu saya. Keberadaan grup ini untuk menjalin persaudaraan. Tidak selain itu!” Tampak sederet kalimat di grup alumni SMP yang Aji ada di dalamnya. Pengirimnya, Wulan Sekar Ayu. Ia kenal betul siapa Wulan. Dulu semasa SMP memang jadi idaman anak-anak cowok di sekolahnya, termasuk para ikhwan aktivis Rohis.

Tak menunggu lama, muncul beberapa pesan yang menanggapi postingan Wulan. Ada yang mendukung, ada pula yang menertawakan, tak sedikit yang malah nyinyir menganggap Wulan terlalu lebay.

“Gitu aja kok repot. Blokir saja!” tulis Sapta disertai emoticon menjulurkan lidah.

“Cie cie…. Pengirimnya cowok apa cewek, tuh?” Indah ngegodain Wulan.

“Jangan sok cantik, ya. Dulu waktu sekolah boleh aja kamu jual mahal. Sulit nerima cinta cowok. Sekarang masih juga begitu?” tulis Bram dingin.

Aji sementara hanya minyak tawon, eh, maksdunya nyimak mawon alias sekadar menyimak obrolan yang terjadi di antara beberapa teman alumni di SMP Gaharu tempatnya sekolah dulu. Terdata ada 207 member termasuk beberapa admin di dalamnya. Memang belum semuanya masuk jadi member. Sebab, lulusan tahun itu, angkatan Aji, ada lebih dari 300 orang.

Wulan tak menanggapi di grup. Tapi beberapa saat kemudian saat Aji membuka WhatsApp dan melihat-lihat status dari nomor kontak yang dia miliki, Wulan nampak update status. Isinya tulisan: “Pengecut adalah ia yang tak pernah mau menunjukkan jati dirinya”. Aji kaget. Mungkin itu respon dari posting yang Wulan kirim ke grup alumni. Tapi direspon beberapa kawannya seperti main-main. Wulan memilih update status di WhatsApp.

Saat Aji sedang asyik dengan PR-nya, tiba-tiba terdengar bunyi notifikasi pesan WhatsApp masuk. Penasaran, ia melirik hapenya. Ternyata dari Wulan. Segera ia buka, dan beberapa pesan muncul bahkan  ada screenshot segala yang dilampirkan.

“Assalaamu’alaikum. Maaf Aji. Sebagai anak rohis, tolong dong nasihatin orang yang sering japri aku. Ini screenshot-nya,”  

“Aku nggak tahu siapa dia. Setiap kali ditanya, tak pernah jawab. Tapi sehari kirim pesan lebih dari aturan minum obat. Bikin jengkel saja,” Wulan di pesan lainnya.

Aji heran melihat beberapa screenshot yang dikirim Wulan. Si pengirim itu jelas-jelas menggoda dan merayu Wulan. Entah sekadar iseng, atau itu justru kerjaannya. Aji geleng-geleng kepala. Wulan hanya menanggapi dengan menanyakan siapan pengirim pesan tersebut. Tapi ia tak pernah mendapatkan jawaban dari si pengirim tersebut. Akhirnya Wulan jengkel dan mengirim pesan ke grup. Sebab, ia hanya menggunakan nomor tersebut untuk digrup WhatsApp alumni SMP Gaharu saja. Sementara untuk grup lainnya, ia menggunakan nomor yang berbeda. Begitu pesannya kepada Aji via WhatsApp.

“Andaikan itu sesama alumni SMP Gaharu, tapi aku sudah tak begitu banyak tahu tentang mereka,” tulis Aji dalam merespon pesan Wulan.

“Setidaknya dinasihati lah,” Wulan berharap.

“Baiklah, mungkin aku mau menulis di grup saja. Siapa tahu pengirim misterius itu baca juga,” Aji memberi solusi.

Aji kemudian memberanikan diri merespon postingan Wulan di grup yang telah lebih dahulu dikometari teman-temannya, ia menulis beberapa kalimat, “Kita perlu menjaga privasi teman-teman kita (termasuk kita sendiri tentunya). Di grup ini ada banyak karakter berbeda. Ada pula yang sudah sekian tahun berpisah, tak pernah bertemu lagi. Pengalaman masing-masing berbeda. Pengetahuan bertambah, pergaulan semakian luas. Sehingga bisa jadi, ada di antara kita yang kita kira belum berubah karakternya, ternyata sudah jauh berbeda. Bisa jadi tadinya kurang baik, sekarang jadi baik. Atau sebaliknya. Kita masih menduga-duga juga kan? Memang kita masih muda. Sekarang aja baru naik ke kelas 12. Berarti jadi alumni SMP belum terlalu lamu. So, walau demikian, kita mulai belajar menghargai teman-teman lain. Maaf.” Tutup Aji dalam tulisannya yang ia posting ke grup alumni SMP Gaharu.

Aji menatap layar smartphone-nya. Beberapa nama yang sudah ia masukkan ke phonebook-nya terlihat sedang mengetik. Ada juga beberapa nomor yang belum dicatat ke phonebook-nya juga sedang mengetik. Aji menunggu.

“Waduh, ada yang ceramah nih,” tulis Bram tendensius.

“Hehehe Aji muncul! Anak rohis, gitu lho,” tulis Anto disertai emoticon tersenyum.

“Jangan serius banget, Ji. Biasa aja lagi. Wulan emang gitu orangnya,” Bimo nulis.

“Wajar lah Bram, Aji kan dari dulu anak Rohis. Sekarang di SMKN juga jadi anak rohis. Di kompleknya juga ikut kegiatan remaja masjid. Dia nggak berubah,” tulis Haikal.

Banyak banget komentar dari teman-temannya yang merespon postingan Aji maupun Wulan. Intinya sih, ada yang mendukung dan ada yang kontra. Aji tak merespon lagi. Mungkin sedang menunggu momen yang pas untuk menjawab. Ia kembali menekuni tugas mapel matematika yang diberikan Pak Fathur.

Tak lama, Aji mendapatkan kiriman pesan WhatsApp. Pengirimnya dengan nomor yang sama dengan yang dikirim Wulan di beberapa screenshot-nya. Aji kaget. Berarti benar pengirim itu ada di grup alumni SMP Gaharu.

“Jangan sok alim, Bro. Urus saja dirimu. Jangan harap kamu bisa mengubah karakter orang!” tulis si pengirim misterius itu.

“Sekarang sudah jadi urusanku karena kamu japri aku,” Aji cepat menanggapi.

“Oh, mau jadi jagoan, Bro?” tulis si pengirim misterius.

“Sebenarnya aku malas meladeni pengecut, yang tak mau menunjukkan jati dirinya,” tulis Aji.

“Hahahaha… jangan baper, Bro. Hidup itu untuk dinikmati.”

“Menikmati di atas kekesalan orang lain?” Aji membalas cepat.

“Memangnya kalo gitu nggak boleh?” si pengirim anonim itu menuliskan balasan.

“Kamu sendiri mau aku buat kesal?” tulis Aji.

“Ooh, berani juga cecunguk ini!”

“Jangan bangga bisa komen sesukanya dari balik topengmu. Itu hanya akan dilakukan para pecundang!” Aji tak kalah kasar. Mungkin untuk memberikan shock therapy.

“Buka topengmu! Kita bisa ketemuan langsung di mana kamu suka!” Aji menuliskan pesan berikutnya dengan nada tantangan. Sengaja sepertinya.

Sejenak kemudian, dia offline.

Aji kesal. Akhirnya ia menuliskan pesan ke grup alumni SMP Gaharu, “Sekadar pelajaran bagi kita. Hidup itu pilihan. Pilihlah kebaikan yang kita jalani dalam hidup. Jangan pernah mengganggu orang lain. Baik sekadar iseng atau memang itu hobi kita. Buang pikiran seperti itu. Hidup memang untuk dinikmati, silakan. Tapi jangan menikmati hidup di atas kekesalan dan penderitaan orang lain atas apa yang kita perbuat kepadanya. Jadilah diri sendiri. Bertanggung jawablah atas apa yang kita perbuat. Jangan menjadi pengecut atau pecundang dengan bersembunyi di balik topeng. Kita mungkin bisa lolos dari pengawasan manusia, tapi Allah Ta’ala Mahatahu apa yang kita kerjakan. Bijaklah menggunakan medsos. Jadikan hidup lebih baik. Setiap orang bisa saja bebas sesukanya menulis banyak tulisan. Tapi, pastikan apakah tulisan itu untuk memperbaiki, atau justru malah merusak? Pilihan ada di tangan kita. Bijaklah memilih pilihan hidup,” tulis Aji panjang lebar di grup sambil menyertakan buku “Sosmed Addict” dengan caption: Silakan baca buku ini, agar bijak bergaul di medsos di pesan berikutnya.

Beberapa menit kemudian beragam komentar dari kawan-kawannya muncul. Ada yang pro dan tentu saja kontra. Wulan menuliskan apresiasi dan terima kasihnya. Tapi tak ada respon yang japri kepadanya, meski Aji menunggunya dan berharap itu datang dari nomor si pengganggu tersebut. []

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.