Sering berseliweran komentar orang yang akalnya tak sehat. Cara pandangnya terbatas, kurang piknik ilmu pengetahuan. Ini bukan menghina kecerdasan, tetapi faktanya banyak yang demikian. Kasus terbaru saja ketika mengomentari muslimah anggota Paskibraka yang tak diperbolehkan mengenakan kerudungnya saat pengukuhan oleh presiden, justru orang-orang model begini malah mendukung. Alasannya, yang terpenting itu hatinya, dan tunduk pada aturan negara. Lalu berbusa-busa ngomong, “Percuma berhijab jika kelakuannya setan”. Sepintas tampak benar. Sebab, begitulah setan yang justru sedang menguasai syahwat orang tersebut. Sesuatu yang buruk dipoles seolah bagus, yang salah disulap seolah tampak jadi benar.
Baik, apakah masuk akal kalo kemudian menyalahkan aturan berbusana sementara orang yang mengenakannya tak mencerminkan busana yang dipakainya? Jika begitu, berarti sama saja dengan orang yang berkomentar kayak gini, “Percuma pakai seragam polisi, kalo kelakuannya sebagai polisi malah seperti penjahat. Mending nggak usah pake atribut polisi saja!” Nah, bingung sendiri, kan.
Why? Sebab, yang salah itu orangnya, bukan aturan atau instusinya. Bukan salah ajaran Islam kalo ada muslimah yang mengenakan kerudung tapi adabnya buruk. Itu murni salah orang tersebut. Lagian, masih banyak muslimah yang berbusana sesuai syariat (mengenakan kerudung lengkap dengan jilbabnya) yang juga berperilaku baik, adab dan akhlaknya baik. Begitu pun dengan polisi yang baik, pasti ada. Mereka mengenakan seragam polisi dan kelakuannya juga baik.
Artinya apa? Ya, jangan digeneralisir. Itu hanya oknum.
Jadi logika semacam tadi jelas salah. Cara berpikirnya salah. Orangnya yang salah, kok malah dibilang percuma pake busana muslimah kalo kelakuannya buruk. Padahal jelas lebih buruk lagi kalo menormalisasi orang yang nggak taat syariat.
Proses menuju kebaikan itu cukup panjang. Seorang muslimah mau mengenakan busana muslimah saja sudah bagus, sudah mulai taat menjalankan syariat dalam berbusana. Tentu, di-upgrade juga adab dan akhlaknya. Jadi, jangan bilang, “Lebih baik tak berhijab tapi hatinya mulia, daripada berhijab tapi hatinya busuk.”
Ukuran mulia menurut siapa jika tidak taat syariat dalam melaksanakan kewajiban mengenakan busana muslimah?
So, jangan gunakan akalmu yang error dan terbatas, ya. Tapi gunakan akal sehat untuk memahami syariat. Imam Syafi’i rahimahullah berkata,
إِنَّ لِلْعَقْلِ حَدًّا ينتهي إِلَيْهِ مَا أَنَّ لِلْبَصَرِ حَدًّا ينتهي إِلَيْهِ
“Akal memiliki batas, sebagaimana mata juga mempunyai batas penglihatan.” (dalam Adab asy-Syafi’i wa Manaqibuhu karya Ibnu Abi Hatim, hlm. 271)
Imam Hasan al-Bashri rahimahullah menasihatkan,
ما تم دين عبد قط حتى يتم عقله
“Tidaklah sempurna agama seorang sampai sempurna akalnya.” (dalam Raudhatul Uqala, hlm. 19)
Akhirul kalam, ada baiknya menyimak penjelasan dari Al-Imam Ibnul Qayyim al-Jauziyyah rahimahullah berkata, “Sumber segala fitnah (keburukan) adalah: (1) mendahulukan akal pikiran daripada syariat, (2) mendahulukan hawa nafsu daripada akal sehat. Adapun yang pertama adalah sumber fitnah syubhat (kerancuan berpikir dalam agama) dan yang kedua adalah sumber fitnah syahwat. Fitnah syubhat bisa ditepis dengan keyakinan (ilmu), sedangkan fitnah syahwat bisa ditepis dengan kesabaran. Itu sebabnya, Allah Subhanahu Wa Ta’ala menjadikan kepemimpinan dalam agama ini di atas dua hal ini.
Allah berfirman;
وجعلنا منهم أئمة يهدون بأمرنا لما صبروا وكانوا بآياتنا يوقنون
‘Dan Kami jadikan di antara mereka itu pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah kami, ketika mereka sabar dan yakin dengan ayat-ayat kami.’
Ini menunjukkan bahwa dengan kesabaran dan keyakinan, akan diperoleh kepemimpinan dalam agama ini.” (dalam Ighatsatu al-Lahafan jilid 1, hlm. 167)
Semoga bisa dipahami. Supaya logika lo nggak gila.
Salam,
O. Solihin