Saya pernah mendengar ungkapan begini, “Lapar galak, kenyang bego”. Hmm… kalo dipikir-pikir ada benarnya juga. Tapi ada syaratnya, yakni orang yang nggak memiliki iman dan ilmu, atau imannya tipis dan ilmunya masih minim.
Mengapa dikaitkan dengan ilmu? Jadi begini, kalo orang mau belajar banyak hal, kemungkinan besar akan mendapatkan ilmu. Kalo udah dapat ilmu, apalagi jumlahnya banyak dan berkualitas, maka dia akan memiliki keterampilan. Ujungnya, jika ilmu dan keterampilan sudah dimiliki, maka hidupnya akan produktif. Tentu produktif dalam kebaikan. Bisa banyak melakukan kebaikan yang bertebaran di mana-mana. Adab dan akhlaknya (mestinya) juga lebih baik lagi. Begitu idealnya.
Itu artinya, jika tak belajar dan tak mau belajar meski disemangati untuk belajar, besar kemungkinan nggak akan punya ilmu, atau nggak nambah ilmunya, atau malah salah mengamalkan ilmu yang dimilikinya tersebut karena kurang wawasan dan pengalaman hidup.
Seperti sekarang ini, dari tahun ke tahun kok acara untuk memeriahkan hari ulang tahun kemerdekaan di negeri kita umumnya nggak beranjak mendewasakan dan mencerdaskan. Terkesan sekadar hiburan belaka. Malah ada juga yang berkonotasi negatif. Misalnya, ada karnaval bernuansa LGTB, penampilan waria, lomba makan pisang dengan memeragakan–maaf–oral seks, ada juga main bola bapak-bapak tapi pake daster, dan lain sebagainya. Duh, gimana ini?
Mengapa ada orang yang melakukan hal-hal demikian? Itu karena tak berilmu. Ini akan sangat berbahaya bila jumlahnya banyak dan orang yang berilmu di sekitarnya tak mengingatkan. Akan lebih parah lagi bahayanya jika dimanfaatkan oleh penguasa licik dan culas untuk kian menenggelamkan mereka dalam kebodohan demi kepentingan ambisi mempertahankan kekuasaannya. Apa buktinya?
Banyak. Silakan cek sendiri. Jika harus diberikan contoh, pemberian bansos menjelang pemilu itu salah satunya. Supaya nggak galak karena lapar, maka kenyangkan perutnya dengan bansos dan janji-janji politik yang belum tentu ditunaikan. Mereka akan diam meski penguasa berlaku zalim. Ini cara memelihara kebodohan. Jangan dikasih pendidikan yang benar, karena berpotensi melawan di kemudian hari. Itulah yang digunakan banyak penguasa, termasuk di negeri ini.
Itu untuk level rakyat biasa. Level pejabat juga sama. Tapi syarat dan ketentuan berlaku, yakni yang minim iman dan ilmu. Biasanya galak karena belum dapat jatah. Tapi mingkem dan mengamini jika sudah kenyang dengan harta dan jabatan. Begitulah. Kasus korupsi pejabat tertentu pun bisa dijadikan sandera politik pejabat lainnya. Mereka biasanya memberikan tawaran yang tak mungkin ditolak. Mundur dari jabatanmu, atau kasus hukummu akan diajukan. Begitu kira-kira.
Tapi sudahlah, masih banyak yang jika disebut satu per satu nggak bakal habis. Di hari ulang tahun ke-79 kemerdekaan negeri ini, kita semua belum sepenuhnya merdeka. Lebih mengerikan lagi karena saat ini bukan saja kebodohan, tetapi juga dicampur dengan kedustaan. Duet maut yang susah obatnya. Lebih bahaya lagi karena dipraktikkan oleh penguasa negeri ini dan para pendukungnya.
Ada baiknya menyimak apa yang disampaikan Ja’far bin Muhammad rahimahullah yang mengatakan,
وَلاَ عَدوَّ أَضرُّ مِنَ الجَهْلِ، وَلاَ دَاءَ أَدْوَأُ مِنَ الكَذِبِ.
“Tiada musuh yang lebih berbahaya daripada kebodohan. Dan tiada penyakit yang lebih parah daripada kedustaan.” (dalam Kitab Siyar A’laamin Nubala, hlm. 263, jilid 6, Cet. Muasassah ar-Risalah).
Semoga menjadi renungan kita semua.
Salam,
O. Solihin