#6 Didin Berduka

#webseriesramadhan | Serial Marbot Madani | By: O. Solihin

Setelah dirawat di rumah sakit selama 4 hari, akhirnya Pak Juned, ayahnya Didin meninggal dunia. Warga sekitar melakukan takziyah. Anak-anak Marbot Madani (jadi ini panggilan yang sering terdengar) juga tampak hadir dan memberi support kepada Didin. Engkong Japra juga hadir.

Didin selama ini memang tinggal berdua saja dengan ayahnya di komplek itu. Ibunya sudah lama meninggal dunia, sejak Didin masih SD. Ayahnyalah yang merawat Didin hingga akhir hayatnya. Kini, ayahanya meninggalkan ia selama-lamanya.

Didin tentu sedih. Tapi dia ingat pesan Bang Faisal saat membahas qadha qadar di kajian remaja bakda Subuh beberapa waktu lalu. Bahwa sebagai hamba Allah kita wajib selalu berprasangka baik kepada Allah Ta’ala.

“Allah Maha Pengasih. Maha Penyayang, Maha Memaafkan di kala kita bertaubat, Maha Pengampun bagi hamba-Nya yang memohon ampunan, Maha Penolong hamba-Nya, Maha mengabulkan doa, Yang paling mengetahui keadaan hamba-Nya, Yang paling mengetahui yang terbaik untuk hamba-Nya…” masih segar dalam ingatan Didin apa yang dijelaskan Bang Faisal.

Hari ini ia berduka. Setelah pemakaman ayahnya, anak-anak Marbot Madani berkumpul  di rumah Didin.

“Din, jadi rencanamu apa setelah ini?” Imron membuka obrolan.

“Belum tahu, Ji. Ane belum kepikiran” Didin masih berkaca-kaca.

“Dengar-dengar ente mau pulang kampung ke paman ente yang di Purwakarta?” Yasin menimpali.

“Tadinya pengen begitu. Tapi takut nyusahin. Hari ini aja paman ane nggak bisa datang karena sedang ada urusan di luar kota. Baru besok mau ke sini, katanya,” ujar Didin.

“Ini sih sekadar usul ane aja, Din,” Aji tak melanjutkan omongannya.

“Usul apa, Ji? Didin penasaran.

“Hmm.. tapi jangan tersinggung ya. Gimana kalo Engkong Japra nanti tinggal bersama ente aja di sini? Kan Engkong Japra juga sendirian. Ya, itung-itung menyambungkan ukhuwah,” Aji ngasih penjelasan.

Didin tak memberikan jawaban. Kelihatannya masih mikir. Semua terdiam.

“Sebenarnya sih mau aja. Tapi ane takut nyusahin juga,’ Didin tak melanjutkan omongannya.

“Kenapa?” Aji penasaran.

“Sejujurnya, rumah ini sudah dijual sama bapak ane. Tapi uangnya belum semuanya. Baru bulan depan mau dilunasi. Uang hasil penjualan rumah ini, sebagian besar udah dipake bayar utang bapak ane, dan sisanya udah hampir habis dipakai berobat selama bapak ane sakit,” Didin panjang lebar ngasih tahu.

Anak-anak Marbot Madani terhenyak. Rasa iba menyelinap ke dalam sanubari masing-masing. “Kasihan, Didin,” lirih batin mereka.

“Tapi ane berbaik sangka pada Allah Ta’ala. Ini jalan hidup ane dan keluarga. Ane jalani aja dengan ikhlas. Insya Allah ada jalan nanti,” Didin menutup pembicaraan.

Bang Faisal yang datang terlambat karena ada tugas ke luar kota dari kampusnya selama dua hari mengikuti dosen pembimbingnya, begitu datang langsung memeluk Didin. Meminta maaf karena datang terlambat dan menyemangati Didin.

“Semoga ujian ini bikin kamu tambah takwa, Din,” ujar Bang Faisal.

Air mata Didin tumpah juga. Tapi ia berusaha tegar dan sabar. Pikirannya melayang mengingat kajian bersama Bang Faisal.

Ada bagian yang disampaikan Bang Faisal sangat membekas di hatinya, “Allah Ta’ala menciptakan (menetapkan qadar) pada diri kita, dengan begitu banyak kemampuan pada akal, potensi berbicara, membaca, menulis, dan keahlian lainnya. Salah satu wujud bersyukur adalah memanfaatkan secara optimal potensi dan kemampuan tersebut (qadar tersebut). Namun ingatlah, kita ini tak punya apa-apa tanpa-Nya. Kita tak berdaya tanpa-Nya. Kita tak punya kemampuan apa-apa tanpa-Nya. Maka ucapkan selalu: laa haula wa laa quwwata illa billaah”

“Din, kita siap-siap shalat Ashar!” Anak-anak Marbot Madani pamitan.[]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.