Sejenak saya tertarik mengomentari infografik yang saya sertakan. Secara ringkas, infografik ini menunjukkan penempatan sekitar 50.000 anggota militer Amerika Serikat (AS) di berbagai negara Timur Tengah. Titik-titik oranye di peta menandakan lokasi pangkalan militer AS, dan angka yang ditampilkan menunjukkan jumlah personel militer AS di masing-masing lokasi.
Beberapa hal yang bisa kita lihat dari infografik ini:
- Jumlah terbesar tentara AS ditempatkan di Kuwait (13.500 personel).
- Diikuti oleh Qatar dan Bahrain (masing-masing 9.000), serta UAE (5.000).
- Negara-negara lain seperti Irak, Saudi Arabia, Jordan, dan Turki juga memiliki ribuan personel AS.
- Ada juga dua kelompok kapal induk milik AS (USS Vinson dan USS Nimitz) di laut sekitar wilayah ini, masing-masing membawa 5.500 personel.
- Di Mesir, sekitar 465 personel AS bertugas sebagai pengamat perdamaian di wilayah Sinai.
Sebagian kecil tentara AS juga menggunakan pelabuhan Duqm di Oman sebagai tempat logistik.
Oya, sekadar catatan bahwa yang dihitung di sini bukan cuma tentara saja, tapi juga termasuk pelaut dan karyawan sipil dari Departemen Pertahanan AS.

Nah, coba bayangkan kamu sedang main game strategi. Kamu punya pasukan elite, lengkap dengan jet tempur, kapal induk, dan drone. Lalu kamu tebar pasukan itu di sebuah wilayah yang panas, tandus, dan penuh konflik: Timur Tengah. Nah, kira-kira begitulah posisi Amerika Serikat hari ini.
Menurut data dalam infografik tersebut, ada sekitar 50.000 personel militer AS nongkrong di Timur Tengah. Tapi mereka bukan nongkrong biasa–mereka nangkring sambil bawa senjata berat, logistik canggih, dan sistem pertahanan seperti main game “Call of Duty” versi nyata.
Paling banyak? Kuwait, dengan 13.500 personel. Disusul oleh Qatar dan Bahrain yang masing-masing menggendong 9.000 tentara AS. Bahkan kapal induk AS pun ikut parkir di Laut Arab dan Samudra Hindia. Kalau mereka ikut arisan RT setempat, mungkin sudah dapat hadiah blender. Eh, ngayal.
Dalam sudut pandang geopolitik, saya melihat ini bukan soal sekadar “menjaga keamanan kawasan”. Ini soal pengaruh. Siapa yang punya pasukan di suatu wilayah, dia bisa ikut menentukan arah politik lokal. Kalo bisa sambil ngopi di tenda VIP.
Amerika Serikat sadar, Timur Tengah adalah panggung besar. Ada minyak, jalur pelayaran strategis, konflik sektarian, dan proyek-proyek ambisius dari China dan Rusia yang mulai ngintip masuk. Maka, menempatkan pasukan di sana bukan cuma soal keamanan. Itu adalah langkah bidak dalam ‘permainan catur’ global.
Lalu, bagaimana dari kacamata politik Islam? Nah, di sinilah kita perlu mikroskop ideologis. Dalam politik Islam, keamanan negeri kaum Muslim adalah urusan kaum Muslim sendiri. Adanya pasukan asing–terutama dari negara yang punya sejarah panjang soal penjajahan, perang, dan propaganda–bukan sekadar “kehadiran sahabat”, tapi bentuk intervensi sistemik. Jelas, ini kudu diwaspadai.
Politik Islam memandang bahwa kedaulatan harus utuh, tanpa perlu izin atau “restu” dari kekuatan luar. Kalo ada militer asing di tanah kaum Muslim dengan alasan “membantu”, pertanyaannya, “Kenapa yang dibantu justru makin konflik dan krisis terus? Apakah mereka benar-benar penolong, atau malah penonton sekaligus aktor yang bisa mendikte arah cerita?”
Coba renungkan. Jika satu rumah dijaga oleh orang luar selama puluhan tahun, tapi rumah itu tetap berantakan, kita pantas bertanya–mereka itu penjaga, atau sebenarnya pemilik baru?
Jadi, apa yang harus kita lakukan? Sadar. Itu langkah pertama. Umat Islam perlu melek geopolitik, bukan hanya melek gadget. Kita harus paham bahwa pasukan-pasukan itu tidak berdiri netral, dan kehadiran mereka sering kali berbanding lurus dengan agenda politik besar, yakni mencegah bangkitnya kekuatan Islam yang mandiri dan berdaulat.
Lalu, kita harus kembali percaya pada kemampuan kita sendiri. Umat Islam punya potensi luar biasa: jumlah besar, sumber daya melimpah, sejarah peradaban hebat, dan ideologi hidup yang kuat. Itu sebabnya, yang dibutuhkan bukan pasukan asing, tapi kesatuan visi dan arah perjuangan yang menyatukan kekuatan kaum Muslimin dalam bingkai negara yang menerapkan Islam sebagai ideologi.
Kalo kamu melihat peta dan heran kenapa pasukan Amerika nyangkut di semua pojok Timur Tengah, sebenarnya tak perlu heran. Mereka tidak tersesat. Mereka tahu persis apa yang mereka lakukan. Nah, yang perlu kita tanyakan adalah, “Apakah kita juga sudah tahu apa yang seharusnya kita lakukan?”Gimana? [OS]