#webseriesramadhan | Serial Marbot Madani | By: O. Solihin
Bang Faisal mengumpulkan anak-anak Marbot Madani di masjid. Tak biasanya. Katanya penting. Entahlah, apa yang mau disampaikan. Tapi pasukan Marbot Madani siap datang. Di grup Marbot Madani sudah diumumkan, katanya dadakan dan urgen.
Marbot Madani yang berjumlah lima belas orang alhamdulillah sudah duduk siap mendengarkan wejangan Bang Faisal. Antara jamaah ikhwan dan akhwat ada hijab terbentang memisahkan mereka. Bang Faisal tampak tegang. Setelah salam dan membaca doa pembuka majelis, Bang Faisal mulai menyampaikan sebuah informasi yang membuat anak-anak Marbot Madani shock.
“Ini di daerah kita. Bayangkan. Ini sudah mempermalukan kita semua,” Bang Faisal menunjukkan sebuah koran dengan headline: “Komunitas LGBT Kian Berani!”.
Anak-anak Marbot Madani saling pandang.
“Tantangan dakwah kita. Ya, ini sungguh tantangan dakwah kita. Jangan biarkan mereka seenaknya mengekspresikan kebebasan bejatnya dengan menginjak-injak syariat!” Bang Faisal geram.
“Apa perlu kita geruduk saja komunitas LGBT itu, Bang?” Bimbim membuka obrolan.
“Iya, Bang. Kita bisa kerahkan anak-anak kampung sebelah untuk membantu kita,” saran Luthfi.
“Jangan langsung begitu caranya. Kita coba cari tahu siapa pentolannya, lalu kita ajak diskusi,” Bang Faisal punya usul lain.
“Wah, riskan nggak tuh Bang? Sebab, kalo diajak diskusi mereka jadinya ngerasa diberikan tempat,” Aji memberanikan diri ngajuin pendapat.
“Bismillah. Ini cara pertama kita saat ini. Gimana pun juga mereka itu ibarat orang kesasar jalan. Perlu ada yang ngasih tahu,” Bang Faisal kukuh pada pendiriannya.
Beberapa anak Marbot Madani kemudian berselancar dari ponsel pintar masing-masing untuk mencari pentolan komunitas LGBT sesuai informasi di koran tersebut.
“Nih, ketemu!” seru Yasin girang.
“Inisialnya FBI alias Fredy Bulu Idung!” Yasin menambahkan informasi diiringi gelak tawa teman-temannya.
“Kok aneh ya namanya? Hahaha…” Imron tertawa lepas.
“Sepertinya itu nama panggilan. Nama aslimya Fredy,” Aji menebak.
“Oke kalo gitu. Saya butuh seseorang yang bisa merekam jika jadi ketemu dan diskusi dengan Fredy Bulu Idung,” Bang Faisal seperti tak sabar sambil menunjuk ke arah Aji.
Beberapa hari kemudian, setelah mengontak Fredy Bulu Idung, disepakati pertemuan diadakan di café “Rasa-rasanya Enak Sih”. Syaratnya, pertemuan hanya di antara Bang Faisal dan Fredy Bulu Idung. Ditemani Aji. Fredy Bulu Idung juga ditemani seorang temannya yang belakangan diketahui bernama Sastro Tanpo Dayo.
Waktu menunjukkan pukul lima sore. Makanan yang sudah dipesan beberapa sudah mulai dihidangkan. Awalnya pertemuan itu kaku. Diem-dieman kayak orang lagi maen catur. Aji juga baru kepikiran kenapa nama panggilannya Mas Fredy itu Bulu Idung. Sebab, bulu idungnya memang panjang-panjang sepertinya nggak pernah dirapihin. Apa itu ciri khas kali, ya? Belum sempat Aji mendapatkan jawaban dari pertanyaan isengnya, keburu buyar konsentrasinya saat Bang Faisal membuka obrolan.
“Mas Fredy, terima kasih sudah meluangkan waktu. Sebagai sesama anak bangsa, kami ingin mengkonfirmasi terkait pemberitaan di koran beberapa hari lalu tentang komunitas LGBT yang diketuai Mas,” Bang Faisal berhati-hati memilih kata-kata.
Fredy diam tak mengucapkan sepatah kata pun. Jari tangannya digerak-gerakkan di atas meja. Seperti gugup.
“Apa harus saya ceritakan?” Fredy buka mulut.
“Keterbukaan akan memudahkan kita mencari solusi,” Bang Faisal membalas pertanyaan Fredy.
“Tidak mungkin. Kami sudah kenyang di-bully. Sudah biasa mendapatkan caci maki. Dianggap sampah,” Fredy menatap Bang Faisal dengan pandangan nanar.
“Memang saya terlihat seperti yang Mas kesankan?” Bang Faisal berusaha meyakinkan.
Fredy hanya diam. Menelan ludahnya sendiri. Sebatang rokok dikeluarkan dari bungkusnya, lalu membakarnya. Dihisap dalam-dalam, dikeluarkan sebagian asapnya.
Bang Faisal mulai tak sabar.
“Mas. Maaf. Ini bulan Ramadhan. Waktu buka puasa nggak lama lagi, kok. Selain itu, saaya tidak suka ada orang yang merokok saat ngobrol dengan saya. Please matikan rokoknya,” Bang Faisal mencoba bernegosiasi.
Fredy tersinggung, lalu nyolot sambil gebrak meja, “Sudah gua bilang. Pertemuan ini hanya menjadi ajang penghakiman. Mengatur-atur kebebasan orang lain.”
“Tenang, Mas!”
“Nggak perlu membujuk gua!”
Suasana jadi tegang. Aji buru-buru mematikan tombol rekaman di hapenya. Sastro Tanpo Dayo juga tiba-tiba jadi melotot melihat suasana tersebut. Beberapa pengunjung café terlihat saling berbisik sembari memandang ke arah tempat Bang Faisal dan Fredy bertemu.
“Begini!” Bang Faisal nggak ngelanjutin omongannya karena keburu dipotong Fredy.
“Nggak begini nggak begitu. Gua nggak mau diusik. Komunitas gua juga punya hak untuk mengekspresikan kebebasan!” Fredy Bulu Idung bangkit dari duduknya dan langsung memberi kode kepada Sastro Tanpo Dayo untuk meninggal café.
Bang Faisal nggak bisa mencegah. Begitu pun dengan Aji. Keduanya saling pandang.
“Sudahlah, mungkin bukan dengan cara seperti ini mengajak mereka jadi baik,” Bang Faisal seperti menyadari kekeliruannya memilih cara ini.
“Nggak sepenuhnya keliru, sih Bang. Mungkin karena diangap seperti hendak menghakimi saja. Toh, awalnya dia kan mau bikin janji untuk ketemuan dengan kita,” hibur Aji.
“Kita cari cara lain. Jika tidak bisa mengajak mereka kembali ke jalan yang benar, kita akan dakwah kepada masyarakat agar mereka tak tergoda perilaku buruk komunitas LGBT yang memang bikin rese,” Bang Faisal mulai menyeruput lemon tea karena azan Maghrib baru saja terdengar. Saatnya berbuka.
Aji dan Bang Faisal ke tempat kasir. Membayar biaya makan. Pergi dari café sambil memikirkan cara lain untuk mendakwahi Fredy Bulu Idung dan komunitasnya.[]