Assalaamu’alaikum wr wb
Menulis itu sangat menyenangkan. Baik tulisan nonfiksi maupun fiksi. Menurut saya, menulis jauh lebih menyenangkan ketimbang berbicara. Menulis lebih leluasa dalam mengembangkan ide dan memaparkan fakta. Bahkan menulis bisa sangat sistematis dalam memberikan runutan. Sementara berbicara seringkali dibatasi waktu dan dituntut untuk berpikir lebih cepat dan tepat. Dalam hal ini jarang sekali ada pembicara yang pandai mengemas kata, kaya dengan data, dan sekaligus menguasai audiens dengan baik.
Jika kita melihat fakta yang berkembang saat ini, sungguh sangat menggembirakan ketika banyak remaja muslim yang terjun menjadi penulis. Ini menunjukkan bahwa budaya menulis belum mati dan akan tetap hidup. Juga menumbuhkan kebanggaan bahwa dakwah Islam tetap berjalan, meski disampaikan lewat tulisan. Penulis kita makin tumbuh subur seiring dengan banyaknya klub atau kelompok pembinaan terhadap para calon penulis.
Kita bisa menyaksikan dan mungkin sangat kenal dengan nama-nama penulisnya. Baik mereka yang mengkhususkan diri menulis di jalur fiksi maupun yang betah dan fokus menulis nonfiksi. Sama bagusnya dan sama baik peluangnya, menurut saya. Masing-masing memiliki pembaca fanatiknya sendiri. Tentu karena selera tiap manusia berbeda. Meski secara umum dan secara sederhana bisa dipetakan menjadi dua bagian, yakni mereka yang menyukai tulisan nonfiksi dan mereka yang biasa menyantap tulisan fiksi.
Persoalannya, suatu saat mungkin kita harus berbicara peluang. Terutama ketika kita mulai berpikir untuk menerbitkan karya kita ke “mayor label”. Itu sama artinya dengan kita mengkalkulasi untung-rugi. Apalagi tiap penerbit buku memiliki aturan main sendiri dan punya studi kelayakan terhadap buku yang akan diterbitkan. Mereka harus menghitung biaya produksi dan juga tingkat pengembalian modal dengan cermat. Sehingga wajar jika kemudian berpikir bisnis. Karena memang dari situlah ia memutarkan dananya.
Menurut saya, jika dilihat dari sisi “dakwah”—dan itu mungkin lebih ke arah idealisme, peluangnya sama-sama bagus dan sama baiknya. Karena apa? Karena, sasaran dakwah kita beragam, baik dari segi intelektualitas, kultur, status sosial dan segala aspek kehidupan yang membentuk dan mengembangkan kepribadiannya. Sehingga di sini berlaku cara pandang. Maka, karya fiksi dan nonfiksi akan sama-sama mudah diserap pembaca tertentu. Jadi peluangnya sama.
Hanya saja, jika kita berbicara faktor bisnis, maka akan ada pertimbangan lain yang menurut saya wajar untuk dijadikan pijakan. Terutama oleh pengusaha penerbitan buku. Mau atau tidak mau, suka atau tidak suka, akan berdampak kepada kita, para penulisnya. Ambil contoh sekarang ini sedang booming buku-buku fiksi. Hampir semua penerbit Islam atau umum membidik pangsa pasar ini. Ibarat trayek angkutan, maka tema fiksi lebih layak disebut sebagai jalur gemuk. Artinya, jika terbitkan oleh penerbit mana pun, pasarnya sudah ada. Sudah terbentuk. Sehingga seperti jualan gorengan. Akan mudah laris.
Tentu saja, ini berdampak kepada penulis fiksi. Sangat boleh jadi mereka yang bergelut di jalur ini akan terus mengasah kemampuannya, baik kualitas maupun kuantitas karya yang dihasilkannya. Untuk penulis pemula, secara tak langsung mereka pun akan meyakin-yakinkan diri untuk bermain di trek yang sama. Karena sedang diminati dan tentunya akan berdampak pada eksistensi diri dan kemampuan berkaryanya yang akan terus meningkat.
Sementara penulisan nonfiksi, jika dilihat dari sisi bisnis, kondisinya saat ini masih kalah bersaing dengan tema fiksi. Mungkin pasar yang menyukai tulisan nonfiksi jauh lebih sedikit dan mungkin spesifik sekali, sehingga jarang juga penerbit yang berani mengorbitkan karya tulis jenis tersebut. Tentunya kondisi ini ada hubungannya juga dengan para penulisnya. Bisa jadi karena penulis nonfiksi jumlahnya sedikit, maka itu berbanding lurus dengan jarangnya beredar karya nonfiksi di pasar. Sehingga mengukuhkan anggapan bahwa tulisan nonfiksi kurang menjanjikan secara bisnis. Jika hanya melihat fakta sepintas lalu, para penulis pemula yang ingin memoles keterampilan, akhirnya berpikir ulang untuk terjun di jalur nonfiksi. Karena mereka merasa peluangnya sangat kecil dan tentu karyanya akan sedikit diserap pasar. Ya, tak sebaik penyerapan pasar terhadap tulisan fiksi lah. Itu sebabnya, jika bukan karena idealisme yang sangat kuat atau ‘bakat’ dan minat utama yang tertanam dalam dirinya, maka ia akan memilih jalur yang “gemuk” tadi, yakni memoles kemampuan menulisnya di jalur fiksi. Wallahu’alam.
Tapi dari segi “peluang dakwah”, terjun di jalur fiksi tak salah dan tak masalah juga. Sah-sah saja. Selama memang menghasilkan karya yang benar, baik, dan bermanfaat buat umat. Itu sama artinya meski kita terjun di jalur tulisan nonfiksi, tapi isinya berantakan dan membuat umat tidak cerdas dan malah ingkar syariat, ya itu berbahaya dan bisa jadi sangat sia-sia. Intinya, jika boleh saya memberikan saran, silakan berkarya di dua jalur penulisan tersebut. Karena yang terpenting harus kita jadikan bahwa menulis adalah sebagai salah satu cara dalam berdakwah untuk kemaslahatan umat dan meninggikan kemuliaan Islam.
Jadi, bila kita ingin membandingkan peluang antara tema nonfiksi dan fiksi secara bisnis (dan ini pun boleh-boleh saja), harus dilihat lebih detil dan mungkin saja memerlukan penelitian yang menyeluruh. Supaya dakwah kita jalan, tapi pemasukan untuk “energi” dakwah juga lancar.
Tak ada salahnya dicoba
Jika kita ingin menjajal kemampuan untuk terjun di jalur penulisan nonfiksi, silakan saja. Tak ada salahnya mencoba. Apalagi sebagai “bocoran”, di beberapa penerbit Islam kini “diam-diam” ingin juga menggeber penerbitan tulisan-tulisan nonfiksi. Mungkin ada yang tergerak karena dilandasi semangat untuk mendakwahkan Islam dengan lebih detil, menyentuh, dan ilmiah. Dan itu diyakini hanya bisa ditempuh lewat jalur tulisan nonfiksi. Mungkin juga sekadar menjajal peluang bisnis semata. Terlepas dari kemungkinan seperti itu, insya Allah saya sendiri tetap khusnudzan bahwa penulis dan penerbit yang bekerjasama menerbitkan karya nonfiksi tetap dilandasi tujuan dakwah Islam yang mulia. Semoga.
Buat kita, penulis dan calon penulis, silakan fokus menulis di jalur masing-masing. Karena yang terpenting kita lakukan sesuai minat dan kemampuan yang kita sadari betul kelebihannya. Saya sendiri merasa harus fokus di tulisan nonfiksi, meski sesekali juga menulis fiksi.
Andai saya boleh ‘memaksa’ Anda dalam bentuk memberi saran, cobalah Anda menjajal untuk menulis nonfiksi. Kini, di beberapa penerbit kekurangan, jika tak ingin dikatakan tak ada penulis nonfiksi. Sementara berdasarkan studi kelayakan terhadap pasar (terutama remaja), sangat bagus prospeknya. Jadi peluang karya kita untuk diterbitkan insya Allah cukup besar. Asal tentunya karya kita dipoles dengan cantik dan indah. Coba ya. Yakin bisa deh!
Berhubungan dengan penerbit
Berikut ini beberapa tips atau cara yang berhubungan dengan penerbitan buku:
- Tema harus menarik dan aktual. Lengkapi dengan data faktual supaya lebih bergizi.
- Gunakan gaya bahasa bertutur yang asyik, menyegarkan, dan menghibur.
- Aktif menghubungi berbagai penerbit dan melakukan pendekatan.
- Rajin mengirimkan naskah ke satu penerbit yang kita anggap bagus.
- Menjalin kerjasama dengan penulis lain yang mungkin sudah ‘leading’ untuk membuat karya bersama atau sekadar meminta endorsement dan tulisan pengantar untuk karya kita.
Selamat mencoba dan terus menulis dan menghasilkan karya bermanfaat bagi umat dan kemuliaan Islam. Karena, ”Pada mulanya adalah kata. Tapi dia bisa menjadi senjata,” begitu kata Nadine Gordimem, seorang penulis dari Afrika. Buat kita, kaum muslimin, menulis adalah bagian dari ibadah. Itu sebabnya tulisan tersebut harus dikemas dengan bagus agar pembaca kita mudah menyerap pesan yang kita sampaikan. Jadi, penulis muslim dituntut untuk menggabungkan kerja keras, kerja cerdas, dan kerja ikhlas serta kerja tuntas. Tetap semangat!
Salam,
O. Solihin