Jangan Berharap

Awalnya mereka saling berlawanan dalam sebuah kontestasi. Pendukungnya pun sangat militan. Tungku perseteruan terus dinyalakan agar perdebatan yang dibumbui caci maki dan sumpah serapah tetap tersaji. Bahkan salah satu pasangan kontestan didukung banyak ulama.
 
Klimaksnya soal drama kemenangan dan kecurangan di atas ratusan nyawa petugas penghitung jumlah suara. Termasuk pendukungnya yang digebuk dan hilang nyawa saat protes soal kecurangan. Namun pengumuman di pagi buta melenyapkan semua harapan mereka yang kalah, terutama para pendukungnya. Awalnya berharap idolanya bisa memperbaiki dari dalam untuk negeri yang karut marut ini.
 
Dia yang menggebrak meja sambil orasi berapi-api dan katanya akan timbul tenggelam bersama rakyat malah lebih dulu bertekuk lutut lalu mau saja diangkat jadi menteri.
Berikutnya, dia yang berkoar tak mau bergabung, akhirnya melempem juga dan bersedia jadi bagian dari mereka.
 
Entahlah, itu urusan mereka masing-masing soal alasannya.
 
Namun, untuk apa biaya besar perseteruan itu jika pada akhirnya jadi bersama? Mereka ke istana, ulama yang mendukungnya ke penjara. Rakyat yang bersedia memberikan suaranya, hanya dibalas harapan palsu.
 
Memang, berharap kepada manusia seutuhnya itu merugikan. Apalagi dalam sistem yang sudah jelas akan mengecewakan. Lebih menyakitkan lagi, karena yang dikira rajawali gagah, ternyata sekadar jadi hiasan di istana.
 
Pelajaran berharga bagi umat Islam. Bisa jadi revolusi itu memang akan lahir dari jalanan. Tidak bergabung dalam sistem. Ikhlas dan fokus saja berjuang untuk menegakkan Islam, satukan kekuatan, dan jelas arah perjuangan: yakni, menjadikan Islam sebagai ideologi negara untuk menggantikan sistem laknat yang ada saat ini. Risikonya lebih masuk akal: hidup mulia, mati syahid.
Salam,
O. Solihin

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.