Hadapi dengan Sabar

Kenyaatan sering kali tak seindah harapan. Namun, kamu harus tetap bisa menerima kenyataan itu. Meski pahit, telan dan jalani saja. Sebab, memang tak bisa diubah. Diperbaiki di lain waktu, insya Allah masih ada kesempatan. Namun, secara fakta saat ini, itulah yang harus dihadapi. Memang menyakitkan, tetapi harus legowo. Miris juga sih, beberapa waktu lalu ada anak umur 11 tahun yang bundir, konon katanya gara-gara di-bully teman-temannya karena korban adalah anak yang yatim. Ngeri, ya. Bukannya di-support karena nggak punya ayah, malah di-bully. Aneh bin ajaib.

Kesabaran kudu berlebih di zaman sekarang. Sebab, banyak orang yang udah nggak peduli sih sama nasib orang lain. Banyak yang fokus pada diri sendiri. Memang kehidupan setiap orang berbeda-beda, tetapi kepedulian terhadap sesama perlu ditumbuhkan. Saling menolong, saling mendukung, saling mendoakan. Kalo nggak bisa nolong, setidaknya jangan bikin beban. Kalo belum bisa berbuat baik buat orang lain, perbaiki diri sendiri. Jangan malah nyinyirin, nolong kagak. Minimal diam nggak usah komen kalo bikin nyakitin orang lain.

Oya, ngomongin kesabaran, memang kita kudu belajar bersabar supaya nggak mudah kecewa, nggak gampang marah, nggak langsung rapuh ketika menghadapi kenyataan yang jauh dari harapan. Hadapi musibah dengan kesabaran, lalu ridha bahwa kenyataan tersebut adalah takdir Allah Ta’ala, bahkan lebih keren lagi jika bisa bersyukur atas kenyataan yang nggak kamu inginkan. Beneran. Kok bisa?

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah menjelaskan, “Sabar (menghadapi musibah) hukumnya wajib berdasarkan kesepakatan para ulama. Derajat yang lebih tinggi dari sabar adalah ridha terhadap ketetapan Allah. Sebagian ulama berpendapat bahwa hukum ridha saat menghadapi musibah adalah wajib. Sementara itu, ulama yang lain berpendapat hukumnya sunah, dan inilah pendapat yang benar.

Berikutnya, tingkatan di atas ridha adalah bersyukur kepada Allah atas musibah tersebut. Dia justru menilai bahwa musibah tersebut termasuk bagian dari nikmat Allah atasnya. Sebab, Allah menjadikan musibah tersebut sebagai sebab terhapusnya kesalahan-kesalahannya, terangkatnya kedudukannya, kembalinya kepada Allah, ketundukkannya serta kepasrahannya kepada Allah, dan sebab keikhlasannya dalam tawakalnya kepada Allah semata, juga berharapnya hanya kepada Allah bukan kepada makhluk-Nya.” (dalam al-Furqan Baina Auliya ar-Rahman wa Auliya asy-Syaithan hlm. 143)

Oya, kesabaran bukan saja dibutuhkan saat menghadapi kesulitan hidup, yang adakalanya bikin jadi kena mental. Namun, kesabaran juga diperlukan saat melaksanakan ibadah. Ini sekadar untuk menjelaskan saja, ya. Bahwa kesabaran itu luas. Bahkan yang saya dengar dari kajian-kajian yang pernah disampaikan beberapa ustaz, kita itu setidaknya kudu sabar dalam tiga keadaan: saat mendapatkan musibah, saat melaksanakan ketaatan, dan saat menjauhi maksiat. Semua itu butuh kesabaran. Kalo dipikir-pikir, ada benarnya juga memang.

Kalo kita kena musibah, jelas diperlukan kesabaran agar kita nggak mudah mengeluh, nggak putus asa, nggak cemas berlebihan dan perasaan sejenisnya yang bikin jadi lelah jiwa. Hadapi sebagai bagian dari ketentuan Allah Ta’ala. Nah, saat kita melaksanakan ketaatan, diperlukan juga kesabaran. Nggak mudah lho untuk bisa rutin bangun pagi lalu shalat Subuh berjamaah di masjid. Berat di awal. Tetapi dengan kesabaran insya Allah akan bisa dijalani. Ibadah lainnya juga sama. Perlu kesabaran. Termasuk nih, kudu sabar dalam menjauhi maksiat. Beneran. Kalo nggak sabar, wah bisa terus-terusan aja maksiatnya. Sabar diperlukan. Sehingga ketika ada godaan untuk berbuat maksiat, bisa ada remnya, ingat dosa, ingat aturan Allah Ta’ala. Sabar jadi pencegah dari berbuat maksiat.

Imam Ibnul Qayyim al-Jauziyyah rahimahullah menjelaskan, “Pada amalan ibadah yang dilaksanakan, seorang hamba membutuhkan kesabaran pada tiga keadaan: 1) sabar sebelum memulainya dengan meluruskan niat ikhlas dan menjauhi segala hal yang berpotensi menumbuhkan riya’. Juga dengan membulatkan tekad untuk menyempurnakan ibadah semaksimal mungkin; 2) sabar selama beramal dengan senantiasa menjaganya dari hal-hal yang akan mengurangi kesempurnaannya. Senantiasa menjaga kelurusan niatnya. Selalu menghadirkan kalbunya agar dia mengingat Allah di dalam ibadahnya; 3) sabar setelah selesai dari ibadah.”

Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyyah melanjutkan bahwa ada tiga poin yang harus diperhatikan: Pertama, hendaknya dia bersabar agar tidak melakukan sesuatu yang menghancurkan pahala amalnya. Allah berfirman (yang artinya), “Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu melenyapkan (pahala) sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan si penerima)” (QS al-Baqarah [2]: 264)

Kedua, hendaknya bersabar agar tidak terkena penyakit ‘ujub (bangga diri). ‘Ujub lebih berbahaya dari sekian banyak bentuk kemaksiatan.

Ketiga, menjaga kerahasiaan amalannya, jangan dia sebarluaskan. (dalam ‘Uddatus Shabirin, hlm. 52)

Ada juga lho, ulama yang memilih cara untuk selamat dari keburukan orang lain, yakni dengan kesabaran. Al-Imam Ahmad rahimahullah bertanya kepada Hatim al-Asham, “Bagaimana cara selamat dari manusia?!”

Hatim menjawab, “Engkau berikan hartamu kepada mereka dan jangan mengambil harta mereka, engkau penuhi hak-hak mereka dan jangan menuntut hakmu kepada seorang pun, engkau sabar menghadapi hal yang tidak engkau sukai dari mereka dan tidak memaksakan apapun kepada mereka, mudah-mudahan dengan cara itu engkau akan selamat.” (dalam Siyar A’lamin Nubala’, jilid 11, hlm. 487)

Wah, kayaknya di zaman sekarang nggak ada yang model begitu. Eh, mungkin aja ada, tetapi kurang terekspos. Langka.

Salam,
O. Solihin

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.