#18 Sebuah Rahasia

#webseriesramadhan | Serial Marbot Madani | By: O. Solihin

Aji mendapatkan kiriman WhatsApp dari nomor yang tak terdaftar di smartphone-nya. Isinya berupa screenshot sebuah akun Instagram orang yang sangat dikenalnya. Teman SMP-nya. Deg-degan Aji melihat screenshot berupa foto temannya yang dulu dikenalnya semasa SMP, sudah tak berjilbab syar’i lagi. Penampilannya lebih modis. Masih mengenakan kerudung, tapi sudah tak mengenakan jilbab. Anak sekarang bilangnya baju gamis untuk menunjuk ke jilbab. Tampak sedang menyanyi di sebuah café ditemani beberapa cowok yang memainkan alat musik.

Ada pesan tertulis yang melengkapi foto hasil screenshot tersebut: “Sekadar kamu tahu, dia sudah berubah.”

Aji merasa heran dengan si pengirim misterius tersebut. Nomornya tak terdaftar, sama sekali tak mencantumkan display picture di akun WhatsApp-nya. Tak ada juga tulisan nama atau pesan yang mudah dikenali. Blank. Hanya tanda “~”. Selesai. Tapi Aji yakin bahwa si pengirim tahu betul tentang dirinya hingga bisa mengirim ke nomornya yang digunakan untuk aplikasi WhatsApp. “Jangan-jangan, dia teman ane juga?” Aji mencoba menerka.

“Kenapa dia bisa berubah ya? Padahal dulu semasa SMP dia aktif di Rohis. Bahkan sangat militan karena menjadi penanggung jawab keputrian dan pembinaan untuk adik-adik kelasnya,” Aji berpikir keras. Tapi tak habis pikir.

Setelah menimbang-nimbang, akhirnya Aji memberanikan diri membalas chat WhatsApp tersebut dengan menuliskan rangkaian kata: “Maaf, ini dari siapa? Apa Anda termasuk yang saya kenal secara dekat?”

Setelah dikirim, beberapa menit kemudian ada tanda centang biru dua biji. Berarti sudah dibaca. Tapi ditunggu setelah itu kok lama, hampir 30 menit, tak jua ada respon. Akhirnya Aji tak mempedulikannya. Ia lanjut mengerjakan tugas untuk esok di sekolahnya.

Aji kenal betul dengan sosok yang ditunjukkan oleh si pengirim pesan itu. Sosok itu adalah temannya saat sekolah di SMP, sesama aktivis Rohis. Setelah lulus, Aji lanjut ke SMK negeri. Sementara sang teman konon kabarnya melanjutkan ke SMA swasta. Ia punya idola, beberapa orang guru. Salah satunya yang dia idolakan adalah sosok Pak Zamzam, guru mapel agama. Orangnya pandai, berwibawa, ilmu agamanya cukup luas, dan satu hal yang membuatnya mengidolakannya, Pak Zamzam orang yang tegas. Bagi sebagian siswa sih, malah diangap galak. Sayangnya, Pak Zamzam meninggal dunia beberapa minggu sebelum angkatan Aji lulus.

Saking mengidolakan Pak Zamzam, temannya Aji ini sepertinya sangat terpukul ketika Pak Zamzam wafat. Bahkan ia menuliskan puisi untuk mengenang almarhum Pak Zamzam. Ia tulis dan ditempelkannya di mading Rohis. Itulah kabar yahg beredar saat itu di sesama aktivis Rohis.

“Dia memang merindukan sosok Pak Zamzam ada juga pada diri ayahnya. Namun ia tak mendapatkan dari ayahnya. Sehingga Pak Zamzam seperti menjadi ayah baginya. Ketegasan dan wibawanya turut membentuk karakter dia,” Aji mencoba mengingat temannya semasa SMP itu yang sudah berubah. Info bahwa temannya semasa SMP merindukan sosok ayah seperti Pak Zamzam juga dari kawan-kawan Rohis yang akhwat.

Jam menunjukkan pukul 22:00 WIB saat Aji hendak ke kamar mandi. Smartphone miliknya berbunyi tanda ada pesan WhatsApp masuk. Aji menunda ke kamar mandi lalu tak sabar mengusap layar smartphone-nya. Benar. Itu pesan dari si pengirim tadi.

“Kamu tak perlu tahu siapa aku, karena aku hanya ingin agar kamu tahu tentang dia saat ini,” begitu tertulis isi pesannya.

Aji mengernyitkan dahinya. Heran. Serasa mendapatkan teka-teki dan ia berusaha memecahkannya untuk mengobati rasa penasarannya. Ia mulai menebak-nebak. Siapakah gerangan si pengirim pesan itu. Tetapi memorinya tak bisa menjangkaunya. Tak ada petunjuk khas yang ia kenal. Aji meletakkan smartphone-nya lalu bergegas ke kamar mandi.

ooOoo

Menjelang sahur Aji mengirim beberapa pesan ke beberapa orang alumni SMP seangkatannya. Barangkali ada yang menyimpan nomor si pengirim pesan semalam. Tapi dari semua teman yang dikiriminya pesan tak satu pun yang mengenal nomor tersebut. Aji makin penasaran. Beberapa temannya menanyakan perihal alasan mengapa mencari tahu nomor tersebut. Tapi Aji memilih tidak menceritakannya.

Bakda shalat Subuh berjamaah di Masjid Daarun Niaam, Aji langsung pulang ke rumah karena hendak menyelesaikan tugas sekolah yang masih tersisa. Begitu buka laptop, smartphone Aji berbunyi tanda ada yang mengirim pesan via WhatsApp. Segera mengambil smartphone miliknya dengan pikiran yang tertuju pada pesan semalam. Benar, ternyata itu dari si pengirim pesan semalam.

“Gimana perasaan kamu dengan perubahan dia?” tulis si pengirim pesan.

Aji tak menanggapinya langsung. Ia berpikir keras. Harus memilih antara menjawab atau membiarkannya. Ia kemudian mengerjakan tugas menggunakan laptopnya. Tak lama, bunyi notifikasi pesan masuk dari WhatsApp terdengar lagi. Awalnya Aji membiarkannya. Ia fokus pada tugasnya. Tapi selang lima menit terdengar lagi bunyi notifikasi pesan masuk. Akhirnya, Aji melirik smartphone-nya. Masih dari nomor si pengirim misterius itu. Segera ia buka.

Pesan pertama tertulis: “Kamu jangan egois. Dia sedang berjalan ke arah keburukan.”

Aji merasa heran. Seolah malah dirinya yang jadi tertuduh. Kemudian Aji membaca pesan kedua: “Ini terakhir kali aku kirim pesan ke kamu. Jangan pernah cari tahu siapa aku. Cari saja cara bagaimana menyadarkan dia. Segera buka email!”

“Ini benar-benar teka-teki. Penasaran juga siapa si pengirim pesan ini,” Aji membatin. Berpikir keras namun tak jua mendapatkan jalan keluar. Tapi kemudian ia ingat pesan si pengirim bahwa harus segera membuka email. Buru-buru ia mengaktifkan modemnya dan login ke emailnya. Ada. Pengirimnya juga misterius. Emailnya sama sekali tak menggunakan penamaan dengan nama yang mengarah kepada nama-nama yang ia pernah kenal. Isi emailnya pun singkat: “dia membutuhkan seseorang yang bisa membimbingnya ke arah kebaikan”. Subjeknya: “Rahasia”. Makin bingung Aji.

“Apa yang harus aku lakukan?”

Tak lama, bunyi notifikasi pesan masuk kembali terdengar. Aji tahu itu bukan dari si pengirim pesan, karena di pesan terakhir dia tak akan mengirim lagi. Benar. Ternyata pengirimnya adalah Bang Faisal. Segera ia buka.

“Assalaamu’alaikum. Aji. Sebelum ke sekolah, ente mampir ke rumah Abang, ya. Tapi jangan bilang ke siapa pun jika ente ke rumah Abang,” tulisnya.

Deg. Aji makin heran.[]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.