#12 Nasi Goreng Pak Baik

#webseriesramadhan | Serial Marbot Madani | By: O. Solihin

Entah siapa nama aslinya yang sesuai di KTP-nya. Tapi bagi anak-anak kampung sebelah, dijuluki Pak Baik. Ia berkeliling jualan nasi goreng menggunakan gerobak dorong. Perawakannya sedang. Tidak gemuk tidak kurus. Tingginya sekira 165 sentimeter. Kumisnya tipis, dan kalo tersenyum tambah manis. Harga nasi goreng sajiannya terbilang murah meriah. Cukup dua belas ribu rupiah per porsi. Nah, bagi anak-anak kampung sebelah, Pak Baik sering ngasih lebih banyak nasi dalam setiap porsi yang dibelinya. Itulah kenapa anak-anak kampung sebelah menjulukinya Pak Baik.

Sebelumnya Pak Baik (tentu dengan gerobak dorong nasi gorengnya) tidak pernah masuk ke komplek. Selain sudah ada yang jualan nasi goreng, juga bukan target utama jualannya. Paling banter Pak Baik berhenti sejenak kalo satpam komplek ada yang beli nasi gorengnya.  Tetapi sejak Mas Minto yang biasa jualan nasi goreng ke komplek pulang kampung beberapa hari sebelum Ramadhan, maka Pak Baik mulai mencoba masuk komplek dan berjualan di sana.

Awalnya Pak Baik nggak mau, cuma dikasih tahu sama Bang Rosid yang satpam komplek bahwa jualan ke dalam komplek aja karena sejak sebelum Ramadhan Mas Minto nggak jualan lagi. Pulang kampung. Akhirnya, Pak Baik dengan senang hati menjemput pelanggan barunya di dalam komplek. Termasuk yang jadi pelanggannya adalah anak-anak Marbot Madani.

Nah malam ini, seperti biasa Pak Baik berjualan nasi goreng sejak awal Ramadhan kemarin. Pak Baik berhenti di depan gerbang Masjid Daarun Niaam. Anak-anak Marbot Madani yang kelaperan akhirnya mengerubungi Pak Baik. Pesan nasi goreng.

“Pak, dengar-dengar dari anak kampung sebelah, dipanggilnya Pak Baik. Kok bisa sih?” Imron penasaran.

Pak Baik hanya tersenyum sambil mamasukkan nasi ke kuali lalu disusul racikan bumbunya.

“Nggak tahu sih. Anak-anak kampung sebelah yang memanggil sebutan itu untuk saya. Semoga saja saya memang orang baik,” katanya sambil memasukkan daging ayam yang sudah disuwir-suwir, disusul kecap dan diaduk-aduk lagi.

“Sebenarnya kalo boleh tahu, nama aslinya siapa, Pak?” Yasin ikut nimbrung sambil membetulkan sarungnya yang hampir melorot.

Pak Baik tak menjawab, keburu ada orang yang datang. Dua orang berkendara sepeda motor yang baru datang itu memesan sepuluh bungkus nasi goreng.

“Nama asli saya, hmm.. kasih tahu nggak, ya?” Pak Baik mulai bercanda sambil tetap menyiapkan hidangan nasi goreng yang dipesan.

“Ah, Pak Baik bikin penarasan,” Imron menggoda.

“Kasih tahu aja Pak, siapa tahu namanya mirip dengan nama salah satu anak-anak Marbot Madani,” Yasin ngeguyonin.

Pak Baik cuma mesem aja sambil menaruh nasi goreng yang sudah siap santap di beberapa piring pesanan anak-anak Marbot Madani.

“Saya aslinya dari Banjarnegara,” Pak Baik memulai obrolan.

“Banjarnegara? Kok nggak jualan Dawet Ayu?” Bimbim nyeletuk sambil mengambil satu porsi nasi goreng yang sudah disiapkan.

“Pernah jualan. Cuma kayaknya bukan di situ jalan rezeki saya berikutnya,” kata Pak Baik.

Ketika semua pesanan nasi goreng sudah selesai, Pak Baik baru bisa ngobrol panjang lebar dengan anak-anak Marbot Madani. Cerita berawal dari sekira 10 tahun lalu ketika Pak Baik merantau ke Jakarta. Usaha pertama adalah jadi kuli bangunan. Tapi cuma bertahan 5 bulan langsung berhenti. Katanya ada teman yang dikenal saat kerja proyek yang menawari jadi tukang parkir  aja.

“Kerjaan ringan tapi duitnya lumayan,” kata Pak Baik menirukan tawaran teman barunya.

Singkat kata Pak Baik jadi tukang parkir di Pasar Ciputat. Hampir setahun jadi tukang parkir Pak Baik merasa bukan di situ dunianya.

“Duit emang lumayan dapetnya, tapi untuk shalat saja susah,” keluhnya mengenang.

“Pak Baik berhenti jadi tukang parkir?” tanya Imron.

Pak Baik bercerita bahwa setelah jadi tukang parkir ia mencoba jualan dawet ayu dari sisa uang tabungan saat jadi tukang parkir. Jualan dawet ayu lumayan lama, hampir empat tahun. Bahkan sampe kebeli sepeda motor bebek. Intinya nasibnya lebih baik ketimbang sebelumnya. Sampai suatu saat, ada penertiban oleh Satpol PP terhadap pedagang yang ada di sisi jalan. Pak Baik termasuk yang kena razia. Asetnya dihancurin, dagangannya ludes. Setelah itu, Pak Baik kurang bersemangat. Sempat pulang ke kampung halamannya. Namun baru 4 bulan sudah tak betah, akhirnya kembali merantau dan akhirnya di Parung inilah dia berjualan nasi goreng. Begitu cerita singkatnya.

“Jadi nama asli Pak Baik sebenarnya siapa?” Yasin tetap menanyakan itu. Sebab dari awal cerita nggak denger nyebut-nyebut nama aslinya.

“Hehehe..” Pak Baik terkekeh.

“Pengen tahu aja atau pengen tahu banget?” Pak Baik balik nanya.

“Iya nih, penasaran banget!” Imron ikut komen.

“Memang penting, ya buat kalian?” Pak Baik masih bertahan untuk tidak berterus terang. Senyumnya mengembang.

“Cuma penasaran. Kalo nggak mau ngasih tahu juga nggak apa-apa kok,” Yasin mulai menyerah.

Lagi asyik ngobrol. Terdengar dari kejauhan suara motor dengan knalpot bising. Makin lama makin terdengar memekakkan telinga. Dari arah datangnya suara, jelas pengendaranya menuju halaman Masjid Daarun Niaam. Anak-anak Marbot Madani penarasan. Hampir semuanya menoleh ke arah datangnya suara. Ada sekira 5 sepeda motor. Isinya ada 10 orang mengenakan jaket dengan logo sama. Sepertinya anak geng motor. Tanpa bicara banyak, tiba-tiba mereka menyerang anak-anak Marbot Madani dengan pukulan.

Pak Baik yang berada di situ juga sigap melakukan perlawanan. Membantu anak-anak Marbot Madani. Lihai juga Pak Baik menangkis, menghindari pukulan, dan sesekali melakuan serangan.

Tiba-tiba terdengar salah seorang di antara mereka memberi komando, “Habisi!”

Kontan para penyerang mundur beberapa langkah. Sedetik kemudian mengambil aneka senjata tajam. Keadaan makin gawat. Pak Baik tiba-tiba mengambil sesuatu dari gerobaknya. Pedang pendek. Segera ia buka sarungnya dan secepat kilat menyerbu tanpa menunggu anak geng motor itu lebih dulu menyerang. Anak-anak Marbot Madani masih gugup. Mereka sama sekali nggak nyangka bakal ada kejadian begini.

“Yasin, panggil Ustaz Bandi!” Imron ngasih instruksi.

Sementara Pak Baik seorang diri dikepung sepuluh anak ngeng motor bersenjata tajam. Sepertinya sudah mahir olah kanuragan. Sudah pengalaman. Anak-anak Marbot Madani melakukan perlawan seadanya. Ada yang melempar pake batu, ada yang nyari kayu untuk memukul. Panik. Setelah beberapa saat bertarung…

“Hei! Bubar kalian!” suara tegas terdengar garang.

Semua kaget. Sejenak berhenti. Tanpa diketahui kehadirannya, ternyata Ustaz Bandi sudah berdiri dengan gagah. Anak-anak Marbot Madani karuan girang. Malah ada yang tepuk tangan segala.

“Bubar, atau kalian tinggal nama!” Ustaz Bandi mengancam.

Tak disangka, anak-anak geng motor yang awalnya terlihat garang, tiba-tiba keder. Ustaz Bandi memang membawa pedang terhunus. Mungkin itu yang bikin keder.

Namun di luar dugaan, saat mereka kembali mengendarai sepeda motor ada yang melempar belati ke arah Pak Baik yang sedang dalam kondisi tak siap. Jleb! Tepat di dada!

“Hei jangan lari!” Ustaz Bandi berusaha mengejar. Tapi mereka lebih cepat memacu sepeda motornya.

Anak-anak Marbot Madani buru-buru menolong Pak Baik. Haji Tohir dan Bang Faisal yang baru sampe ke lokasi segera mengendalikan suasana.

“Bawa segera ke rumah sakit!” Haji Tohir ngasih instruksi.

Beberapa warga segera membawa Pak Baik ke rumah sakit. Bang Faisal terlihat mengobrol dengan Imron dan Yasin.

“Heran, kenapa mereka bisa lolos dari penjagaan di pos satpam!” Ustaz Bandi gusar.

Bang Opik salah satu satpam komplek yang berjaga malam itu tergopoh-gopoh sambil teriak, “Mereka mengeroyok satpam!”

Kejadian malam itu mengagetkan banyak orang. Ternyata geng motor itu bukan hanya yang menyerang sampai masuk ke dalam komplek. Tapi yang lainnya mengeroyok satpam komplek sehingga yang lain bisa masuk ke dalam komplek dengan leluasa. Berdasarkan kesaksian Bang Opik, ada lebih 20 orang.

Beberapa jam kemudian, kabar duka datang dari orang yang mengantar Pak Baik ke rumah sakit. Katanya, Pak Baik wafat. Semua kaget, terutama anak-anak Marbot Madani yang beberapa saat lalu memesan nasi goreng Pak Baik, dan belum sempat membayarnya. Ternyata, sampai akhir hayatnya tak tahu siapa nama aslinya. Ia tak membawa tanda pengenal diri. Tetapi ia tetap dikenang kebaikannya.[]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.