Makna Laa Ilaaha Illallah

“Katakanlah: ‘Dialah Tuhanku tidak ada Tuhan selain Dia; hanya kepada-Nya aku bertawakkal dan hanya kepada-Nya aku bertaubat.” (QS ar-Ra’d [13] : 30)

Seringkali manusia lupa ketika mengatakan bahwa Allah adalah Maha Esa, namun bersamaan dengan itu, konsekuensi dari pernyataan tersebut tak pernah terwujud. Dengan kata lain, pernyataan sungguh-sungguh yang mengakui bahwa Allah memang Maha Esa tidak dibarengi dengan tindakan nyata (konsekuensi) terhadap pernyataan tersebut.

Dengan demikian, ketika kita mengakui keberadaan Allah sebagai dzat yang tunggal dalam keyakinan hidup kita, maka secara naluriah, manusia akan melakukan tindakan penyembahan. Ibadah sebagai perwujudan dari taqdis (mensucikan sesuatu) yang merupakan bagian dari gharizah tadayyun (naluri beragama) harus diatur dengan jelas dan tegas. Tentu sebagai pemecahan dari problem kesalahan dalam penyembahan. Karena bila tidak diatur, dikhawatirkan manusia akan memanifestasikan pentaqdisannya kepada selain Allah.

Bila kita telah mafhum dengan makna laa ilaaha illallah ini, maka kita tidak cukup hanya mengakui bahwa tidak ada pencipta selain Allah, tapi sekaligus mengakui pula bahwa tidak ada yang wajib disembah selain Allah. Dengan demikian, tentu  tak adil bila kita hanya mengakui keberadaan sang pencipta, yang menciptakan alam, manusia dan kehidupan ini sementara kita menghamba kepada selain Allah. Dalam kehidupan sehari-hari tak jarang kita menemui orang-orang yang secara terang-terangan bahkan dengan ngotot mengatakan bahwa tiada Tuhan selain Allah dan Dialah pencipta seluruh alam dan manusia ini, namun pada praktiknya dalam kehidupan ia sama sekali tak melakukan ibadah sebagai wujud penyerahan dirinya kepada Allah. Bahkan berani menyembah selain Allah, yakni kepada makhluk-Nya. Jelas ini merupakan tindakan yang tidak fair.

Setelah kita benar-benar mengakui bahwa Allah adalah Maha Pencipta, yang tidak ada lagi pencipta selain Dia, lalu mengakui dengan sepenuh hati bahwa tidak ada yang wajib disembah selain Allah, maka langkah selanjutnya sebagai konsekuensi dari dua pernyataan tadi adalah tentu saja mengakui dan membenarkan dengan seyakin-yakinnya bahwa tidak ada pembuat aturan hidup selain Allah. Pernyataan ketiga ini dengan tegas tercantum dalam Al-Qur’an sebagai kalamullah, dengan firman-Nya; “Apakah hukum jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?” (QS al Maaidah [5]: 50). Inilah makna lengkap dari pernyataan laa ilaaha illallah tersebut.

Ironisnya, tak semua dari kita begitu konsekuen melaksanakan pernyataan laa ilaaha illallah tersebut dalam kehidupan kita sehari-hari. Ternyata, kita masih doyan melakukan pelanggaran dari pernyataan kita sendiri yang setiap hari diucapkan itu. Ketiga makna dari laa ilaaha illallah ini tak semuanya kita laksanakan. Padahal, agar kita bisa disebut sebagai seorang hamba yang bertakwa kepada Allah, tentu saja dari setiap pernyataan itu harus mempunyai nilai yag benar. Jangan sampai keyakinan kita tentang Allah sebagai pencipta ini dinodai dengan penyembahan yang salah, penghambaan yang menyalahi aturan Allah, juga tidak melaksanakan perintah-perintah-Nya yang tercantum dalam banyak ayat al-Quran. Yang pada gilirannya makna laa ilaaha illallah yang sering kita ucapkan itu menjadi hampa alias tak memiliki arti yang bisa berpengaruh terhadap kehidupan yang kita jalani.

Dengan kata lain, kita mengakui Allah sebagai pencipta, tapi menolak menyembah-Nya, mangkir terhadap perintah-perintah-Nya dan malah melaksanakan larangan-larangan-Nya. Bukankah itu adalah gejala sikap seorang munafik? Wallahu a’lam bishowab

Salam,

O. Solihin

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.