Begal! Begal! Begal!

Ilustrasi

Lebih dari sebulan ini pembicaraan seputar begal menjadi ‘trending topic’. Begal alias penyamun yang beroperasi mengincar para pengguna sepeda motor yang melintasi jalan-jalan tertentu, khususnya sempat marak di Depok dan Tangerang, amatlah meresahkan karena sudah berulang kali terjadi. Namun, sayangnya seperti ada ‘pembiaran’ oleh pihak berwenang.

Memang, beberapa hari belakangan seperti ada upaya dari pihak kepolisian untuk melakukan pengamanan di malam hari pada daerah-daerah yang disebut rawan kejahatan pembegalan. Tetapi opini sudah terlanjur membuat resah. Hal ini diperparah dengan pihak tertentu yang memanfaatkan kerumunan orang di jejaring sosial. Pesan yang disebar melalui WhatsApp, BBM, Telegram, Twitter, Facebook dan sejenisnya malah lebih banyak bernada teror. Mungkin maksudnya memberi pesan agar berhati-hati, tetapi ternyata tipis bedanya dengan menakut-nakuti. Apalagi ketika ada kabar beberapa hari lalu seorang begal di daerah Pondok Aren, Tangerang Selatan tertangkap dan dibakar massa. Lalu muncul info akan adanya pembalasan dari kawanan begal. Jelas, ini makin meresahkan.

Saya akan mencoba menilai dari sudut pandang komunikasi massa. Bagaimana pun, sebuah informasi itu bisa diproduksi dan diberikan label untuk tujuan tertentu. Fakta bahwa begal ada, bisa jadi itu benar. Tetapi ‘membiarkan’ mereka tumbuh padahal sudah diketahui jauh-jauh hari, ini yang perlu dipertanyakan. Ini mirip dengan isu terorisme. Bahwa ada orang atau kelompok yang disebut radikal, bisa jadi benar adanya. Tetapi, melakukan ‘pembiaran’ agar mereka tumbuh dan membahayakan adalah sebuah kesalahan. Jika itu disengaja karena kepentingan tertentu, bisa jadi itu memang adalah peluang yang bisa digunakan untuk berbagai tujuan oleh yang memiliki kepentingan.

Secara sederhana untuk penjelasan paragraf di atas adalah: terorisme dijadikan lahan untuk menggalang dana sekaligus perang opini, yang bisa jadi berbalut pencitraan. Opini yang dijejalkan tersebut berupa: umat Islam adalah teroris, supaya tidak meresahkan harus diberantas, tetapi untuk memberantas butuh dana. Jadi isu terorisme semacam proyek fundraising pihak tertentu untuk mengeruk dana dari pihak lain yang merasa terancam. Berbarengan dengan itu, pencitraan pun bisa diraih oleh lembaga yang berwenang menangani masalah tersebut. Klop. Simbiosis mutualisme. Kerjasama saling menguntungkan. Tetapi yang dirugikan adalah umat Islam dengan opini kejam bernama teroris.

Nah, kini pola yang sama juga ada kemiripan dengan isu begal. Dugaan kuat karena proyek terorisme sudah tak laku jual, maka beralih kepada proyek begal yang ancamannya lebih terbuka kepada siapapun, bukan kepada kalangan tertentu seperti yang diopinikan dalam terorisme: Islam dan yang melawan Islam. Pembegalan lebih umum. Sasarannya masyarakat biasa. Tentu lebih meresahkan dan menakutkan. Siapa yang diuntungkan di sini dan yang dirugikan? Belum tahu pasti siapa saja yang diuntungkan, tetapi yang dirugikan jelas masyarakat banyak. Jika melihat faktanya, saya malah khawatir kasus begal ini semacam ‘kerjaan’ pihak tertentu untuk mengalihkan isu tertentu sekaligus menanamkan pencitraan. Jadi, intinya bukan kriminal biasa, tetapi sudah dibalut unsur politis seperti pada terorisme. Inilah yang harus kita coba pelajari, yakni menilai di balik berita dan fakta.

 

Di balik berita pembegalan

Menurut Noam Chomsky, seorang filosoper terkemuka di Amerika, aktivis politik, dan profesor kehormatan bidang linguistik pada Massachusetts Institute of Technology (MIT), elemen utama dari kontrol sosial adalah strategi gangguan yang akan mengalihkan perhatian publik dari isu penting yang ditentukan oleh elite politik maupun elite ekonomi dengan cara membanjiri dengan informasi yang membingungkan atau informasi-informasi yang tidak penting.

Strategi gangguan ini juga penting untuk mencegah perhatian publik dari pengetahuan-pengetahuan penting. Saya menilai, bahwa ada upaya tertentu untuk menghalangi publik dari sebuah isu atau fakta yang seharusnya lebih penting ketimbang isu begal. Pengelola media massa yang berkolaborasi dengan elit politik dan elit ekonomi—sebagaimana yang dituturkan Noam Chomsky—bisa jadi sudah dipraktekkan saat ini. Intinya, perhatian publik dialihkan dari problem yang sebenarnya, dipikat dengan materi-materi berita yang sebenarnya bukan kepentingan utama. Publik dibuat sibuk, sibuk, sibuk, sibuk, dan sibuk memikirkan hal itu. Tak ada waktu lagi untuk memikirkan yang lain. Padahal, bisa jadi problem utama sedang merayap pelan (atau bahkan cepat) bersamaan dengan perhatian publik pada urusan begal—apalagi yang remeh-temeh macam infotainmen. Ini yang perlu diwaspadai.

Selain itu, isu-isu yang terus diputar saat ini adalah ketegangan Sunni-Syiah, pembegalan, akhir konflik KPK vs Polri. Namun, bisa jadi sebenarnya ada isu yang lebih berbahaya dari itu semua. Mungkin saja. Atau bisa juga sebenarnya dari ketiga kasus yang disebutkan itu ada satu yang berbahaya, namun ditutupi oleh kedua kasus lainnya. Itu sebabnya, kita perlu memahami fakta di balik berita. Sebab, informasi dan opini bisa diproduksi oleh media massa sesuai pesanan pemilik kepentingan untuk tujuan yang lebih besar dari itu. Walaupun ujungnya tetap urusan duit dan jabatan.

Lalu, siapa yang mengail di air keruh melalui ‘proyek’ isu bernama pembegalan? Apakah itu pemerintah? Polri? Pengusaha media massa? Belum bisa dipastikan. Deretan penyebutan itu baru asumsi saja. Kita tunggu jawabannya ketika semua faktanya sudah terbuka lebar sebagaimana isu terorisme selama ini. Namun demikian, kita tetap waspada dan berhati-hati. Semoga tidak menjadi korban ‘konspirasi’ atas nama “Begal! Begal! Begal!”

 

Salam,
Solihin | Twitter @osolihin

*gambar dari sini

1 comment

Tinggalkan Balasan ke Diana Putri Batalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.