“Aku Berhak Bahagia”

rumahtanggaPernikahan tidak dibangun selalu dengan hal yang menyenangkan, kadang harus mempertahankannya dengan rasa kecewa dalam diri. Pernikahan, selain menyatukan dua hati yang berbeda, juga menyatukan dua keluarga yang style-nya berlainan. Itu sebabnya, ragam masalah pasti selalu ada menghiasi kehidupan rumah tangga. Baik masalah yang ditimbulkan dari suami maupun istri. Selain tentunya jika sudah punya anak, ada masalah dari anak dan juga masalah dari keluarga masing-masing. Memang tak semua masalah bisa berhasil diselesaikan, namun kita tidak boleh lari dari semua masalah.

Kehidupan rumah tangga itu kadang rumit, jika kita membuatnya rumit. Satu contoh adalah bahagia. Kebahagiaan sering didamba semua orang, meski definisi bahagia dan ukurannya berbeda-beda pada setiap orang. Suami dan istri juga berhak bahagia. Namun, ketika kebahagiaan tak kunjung didapatkan oleh salah seorang di antaranya, bisa saja memicu tumbuhnya benih-benih ketidak-harmonisan dalam pernikahan. Suami yang jarang di rumah, terlalu sibuk di luar rumah sehingga tak bisa mendampingi perkembangan anak-anak dan tak memperhatikan istri, suami yang tak memberi ruang gerak pada istrinya, istri yang tak taat pada suaminya, istri yang boros dalam pengeluaran belanja rumah tangga, suami yang pelit memberi nafkah, suami yang galak dan temperamental, istri yang tak pandai bersolek untuk suaminya namun ketika tak ada suami justru berhias dengan tabaruj, dan ragam masalah lainnya. Jika tak bisa mengkompromikan kondisi-kondisi seperti itu, keputusan berpisah sering menjadi alasan atas rasa bahagia yang tak bisa diraih, meski hal itu sekadar merasakannya dalam mimpi.

“Aku berhak bahagia,” ungkap seorang kenalan saat menirukan kata-kata istrinya yang didera rasa kecewa dalam pernikahan mereka. Ya, dia mengatakan istrinya berhak merasakan bahagia. Saya mencoba memahami apa yang disampaikannya dan kemudian bertanya, “apa selama ini dia tak bahagia?” Sang kenalan menjawab bahwa ia sebisa mungkin memberikan kebahagiaan kepada istrinya. Namun, mungkin ada saluran komunikasi yang tersumbat di antara mereka sehingga keinginan untuk bahagia itu menjadi semacam tuntutan agar dipenuhi. Banyak sudah upaya yang diakukan sang kenalan, namun tak jua berubah sikap sang istri. Apa mau dikata, hingga kata ingin pisah pun dilayangkan sang istri sebagai ancaman.

Ini satu contoh bahwa dalam hubungan suami-istri itu sebenarnya cukup rumit. Tetapi ada prinsip yang perlu dijadikan pegangan bersama oleh suami-istri, yakni pernikahan itu dilandasi oleh keimanan dan kerelaan untuk mendapatkan ridho Allah Ta’ala. Kita memang berhak untuk bahagia, tetapi kebahagiaan itu harus dilandasi keridhoan Allah Ta’ala. Banyak pernikahan putus di tengah jalan karena di antara suami dan istri tak ada lagi kecocokan. Tak cocok itu pun lebih banyak didominasi perasaan hati demi kepentingan pribadi masing-masing. Apalagi jika sudah punya anak, tetapi berkeras ingin berpisah, rasa-rasanya tak memperhatikan amanah Allah Ta’ala yang dititipkan kepada mereka. Namun, tak sedikit juga yang demi mempertahankan anak-anak, ada istri yang rela tak bahagia dalam rumah tangganya. Sikap seperti ini perlu juga diapresiasi, namun seorang suami harus peka melihat kondisi istrinya.

Saya menghibur sang kenalan agar ia tetap sabar, tawakal, dan istiqomah bersama Islam dalam menjalani kehidupan rumah tangganya yang sedang diterpa badai. Saya merenung, betapa banyak orang yang ingin mengejar kebahagiaan bagi dirinya, tetapi harus mengorbankan banyak orang yang menanggung rasa kecewa akibat perbuatannya. Tidakkah bisa diselesaikan dan dicari solusi terbaik untuk mempertahankan keutuhan rumah tangga dan bersama-sama meraih kebahagiaan yang diimpikan tersebut? Kita perlu menjawabnya dengan tindakan yang sudah dipikirkan dengan matang.

Salam,
O. Solihin

*gambar dari sini

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.